HADITS-HADITS “BULUUGHUL MARAAM MIN ADILLATIL AHKAAM”

HADITS-HADITS “BULUUGHUL MARAAM MIN ADILLATIL AHKAAM”

Allah -Ta’aalaa- berfirman:

…وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِـتُـبَـيِّـنَ لِلنَّاسِ مَا نُـزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُوْنَ

“…Dan Kami turunkan Adz-Dzikr (Al-Qur’an) kepadamu, agar engkau menerangkan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan agar mereka memikirkan.” (QS. An-Nahl: 44)

“Sungguh, penjelasan Rasul -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- yang disebutkan dalam ayat…ada 3 (tiga) jenis: perkataan, perbuatan, dan “taqriir” (persetujuan).”[1] “Sehingga, barangsiapa yang ingin memahami Al-Qura’n dari selain jalan Rasul -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-; maka telah sesat dengan kesesatan yang jauh.”[2] “Apakah engkau dapatkan dalam Kitab (Al-Qur’an) bahwa Zhuhur dan ‘Ashar 4 (empat) raka’at, dan “jahr” (dikeraskan) bacaannya pada Shalat Shubuh, Maghrib, dan ‘Isya, dan dipelankan bacaannya pada Shalat Zhuhur dan ‘Ashr, dan…pada raka’at terakhir pada Shalat Maghrib dan dua raka’at terakhir pada Shalat ‘Isya…?”[3] dan seterusnya…Oleh karena itulah Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

صَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِيْ أُصَلِّيْ

“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat saya Shalat.”[4]

“Maka menjadi tugas masing-masing orang untuk mengerahkan segenap usaha dan kemampuannya untuk mengenal apa yang beliau bawa serta untuk taat kepada beliau. Karena ini adalah jalan keselamatan dari adzab yang pedih, dan untuk mendapatkan kebahagiaan di negeri kenikmataan. Dan cara untuk hal tersebut adalah dengan: ilmu riwayat dan penukilan (hadits).”[5]

“Dan Al-Qur’an memiliki keistimewaan dimana Allah mengkhususkannya dengan mu’jizat yang membedakannya dengan perkataan manusia, sebagaimana firman-Nya:

قُلْ لَئِنِ اجْتَمَعَتِ الْإِنْسُ وَالْـجِنُّ عَلَى أَنْ يَأْتُوْا بِـمِثْلِ هٰذَا الْقُرْآنِ لَا يَأْتُوْنَ بِـمِثْلِهِ وَلَوْ كَانَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ ظَهِيْرًا

“Katakanlah: Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa (dengan) Al-Qur’an ini; mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengannya, sekalipun mereka saling membantu satu sama lain.” (QS. Al-Israa’: 88)

Dan Al-Qur’an telah dinukilkan dengan mutawatir, sehingga (dengan keadaan semacam ini); maka tidak ada seorang pun yang berhasrat untuk merubah lafazh maupun hurufnya. Akan tetapi setan berhasrat untuk memasukkan penyelewangan dan penggantian dalam makna-maknanya dengan perubahan dan takwil, dan setan juga berhasrat untuk memasukkan penambahan dan pengurangan dalam hadits-hadits agar bisa menyesatkan sebagian hamba.

Maka Allah -Ta’aalaa- para ahli dan kritikus (hadits), orang-orang yang berpetunjuk dan lurus, mereka mengalahkan golongan setan, mereka membedakan antara yang benar dengan yang dusta, mengorbankan diri untuk menjaga As-Sunnah dan makna-makna Al-Qur’an: agar tidak ditambah dan tidak pula dikurangi…

Maka para ulama yang ahli dalam ilmu penukilan dan kritik terhadap riwayat dan sanad; mereka melakukan perjalanan untuk itu ke berbagai negeri, dan mereka meninggalkan lezatnya pembaringan…dan banyak kisah-kisah mereka yang masyhur dalam hal ini…yang diketahui oleh para ahlinya…

Dan orang-orang yang menjaga ilmu yang diwarisi dari Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-…yang menjaga (hadits) dari penambahan dan pengurangan: mereka adalah seagung-agungnya wali-wali Allah yang bertaqwa, dan golongan-Nya yang beruntung. Mereka memiliki kelebihan dari ahli iman dan amal shalih yang lainnya, sebagaimana yang Allah -Ta’aalaa- firmankan:

…يَرْفَعِ اللهُ الَّذِيْنَ آمَنُوْا مِنْكُمْ وَالَّذِيْنَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ…

“…niscaya Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat…” (QS. Al-Mujadilah: 11)

Sungguh, Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan telah menguatkan mereka dengan pertolongan dari-Nya; tatkala mereka memberikan loyalitas kepada Allah dan Rasul-Nya dan memusuhi orang yang berpaling dari-Nya. Allah ­-Ta’aalaa- berfirman:

لَا تَـجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُوْنَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ يُوَادُّوْنَ مَنْ حَادَّ اللهَ وَرَسُوْلَهُ وَلَوْ كَانُوْا آبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيْرَتَهُمْ أُولٰئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوْبِـهِمُ الْإِيْـمَانَ وَأَيَّدَهُمْ بِرُوْحٍ مِنْهُ وَيُدْخِلُهُمْ جَنَّاتٍ تَـجْرِيْ مِنْ تَـحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِيْنَ فِيهَا رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ وَرَضُوْا عَنْهُ أُولٰئِكَ حِزْبُ اللهِ أَلَا إِنَّ حِزْبَ اللهِ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ

“Engkau (Muhammad) tidak akan mendapatkan suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari Akhir, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapaknya, anaknya, saudaranya atau keluarganya. Mereka itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang dari-Nya. Lalu Dia memasukkan mereka ke dalam Surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Merekalah golongan Allah. Ingatlah, sesungguhnya golongan Allah itulah yang beruntung.” QS. Al-Mujadilah: 22).”[6]

“Demikianlah, dan sungguh, ilmu Hadits adalah termasuk ilmu yang paling utama dari ilmu-ilmu yang utama, dan yang paling bermanfaat di antara cabang-cabang ilmu yang bermanfaat, ilmu ini dicintai oleh laki-laki yang jantan dan gagah, yang ditekuni oleh para peneliti dari kalangan ulama yang sempurna (pada tingkatannya), dan dibenci oleh orang-orang yang rendah dan bawah.”[7]

Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

نَضَّرَ اللهُ امْرَأً سَـمِعَ مِنَّا حَدِيْثًا، فَحَفِظَهُ حَتَّى يُـبَلِّغَهُ غَيْرَهُ، فَإِنَّهُ رُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ لَيْسَ بِفَقِيْهٍ، وَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ إِلَى مَنْ هُوَ أَفْقَهُ مِنْهُ

“Semoga Allah membaguskan wajah seorang yang mendengar hadits dari kami, kemudian dia menjaganya; sehingga dia sampaikan kepada orang lain. Sungguh, terkadang orang yang mengemban fiqih (hadits): tidaklah faqih (faham), dan terkadang pengemban fiqih (hadits) menyampaikan kepada orang yang lebih faqih (lebih faham) darinya.”[8]

Al-Khathib Al-Baghdadi rahimahullaah (wafat th. 462 H) berkata dalam “Kitaab al-Faqiih wal Mutafaqqih” (hlm. 548-549- cet. Daar Ibnil Jauzi):

“Maka beliau -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- mengabarkan bahwa terkadang ada orang yang membawa hadits akan tetapi tidak menjaga dan tidak pula memahaminya. Dan kebanyakan para penulis hadits pada zaman ini jauh dari penjagaan dan kosong dari pemahaman. Mereka tidak bisa memisahkan antara (hadits) yang berpenyakit dengan yang shahih, tidak bisa membedakan antara rawi yang tsiqah dengan yang dicela (dha’if), mereka juga tidak membahas tentang makna (hadits) yang tidak mereka ketahui…”

Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah (wafat th. 751 H) -rahimahullaah- berkata:

“Dan “Ushuulul Ahkaam” (hadits-hadits inti dalam pembahasan Fiqih-pent) yang hukum-hukum (Fiqih) berporos padanya: ada sekitar 500 (lima ratus) hadits. Dan kalau dijabarkan dan dirinci lagi: menjadi sekitar 4000 (empat ribu) hadits. Dan sebenranya yang sangan menyulitkan dan memberatkan adalah: perkiraan-perkiraan (pembahasan) yang ada dalam pikiran, masalah-masalah pelik baik dalam furu’ maupun ushul; yang sebenarnya Allah tidak menurunkan keterangan atasnya.”[9]

Dan kitab “Buluughul Maraam” karya Al-Hafizh Ahmad bin ‘Ali bin Hajar Al-‘Asqalani -rahimahullaah-: mencakup lebih dari 1000 (seribu) hadits dalam masalah Fiqih, maka kemungkinan kitab ini telah mencakup “Ushuulul Ahkaam” (hadits-hadits inti dalam pembahasan Fiqih-pent) yang hukum-hukum (Fiqih) berporos padanya; yang jumlahnya hanya 500 (lima ratus) hadits.

Dan untuk membahas Kitab “Buluughul Maraam”; maka harus diperhatikan Takhrij hadits-hadits yang ada, karena sebagaimana dikatakan oleh Imam Muhammad Nashiruddin Al-Albani -rahimahullaah-:

“(Orang-orang yang) konsentrasinya hanya pada perselisihan pendapat para ulama dalam masalah-masalah Fiqih dan penjelasan mana yang kuat dan mana yang lemah saja, sedangkan mereka tidak mendalami Ilmu Hadits dan hanya bersandar pada para ulama Ahli Hadits yang terdahulu maupun belakangan -yang dianggap terpercaya-; maka orang-orang semacam ini ijtihadnya tidaklah bersih dari kesalahan, dan…tindakan mereka tidak mencukupi untuk dikatakan sempurna. Karenag sungguh, (mereka) harus merujuk kaidah-kaidah ilmu Hadits,…karena relaitanya: ILMU FIQIH TEGAK DI ATAS ILMU HADITS.”[10]

Sehingga hadits-hadits yang terdapat dalam “Buluughul Maraam”; hendaknya dibahas secara “Riwaayah” maupun “Diraayah”. Silahkan lihat pembahasan kedua istilah tersebut di sini:

https://m.facebook.com/story.php…

Dan perlu kami ingatkan juga bahwa: pembahasan yang berkaitan dengan masalah-masalah Hadits dan Fiqih sangatlah penting: meskipun “kami (juga) mengetahui apa yang menimpa kaum muslimin (di berbagai negeri) berupa: ujian dan petaka, kekalahan dan musibah. (Akan tetapi) tidaklah ini menimpa mereka melainkan dikarenakan: jauhnya mereka dari sumber yang jernih dan manhaj yang lurus, yang Allah jelaskan dalam kitab-Nya dan Rasul terangkan dalam Siroh dan Sunnahnya.

Sehingga, mengenal hukum-hukum syar’i dan masalah-masalah Fiqih tidaklah dihentikan dan dipengaruhi oleh suatu perkara. Bahkan hal itu akan mendorong kaum muslimin untuk: berilmu, beramal, dan menyebarkan kebaikan serta dakwah mengajak kepada Allah -Tabaaraka Wa Ta’aalaa-.”[11]

Terakhir, bagi yang ingin membahas masalah Hadits dan Fiqih; maka harus diperhatikan juga 2 (dua) perkara berikut:

Pertama: Memulai dengan yang penting, sebagaiamana dikatakan oleh Imam Adz-Dzahabi (wafat th. 748 H) -rahimahullaah- tentang adab seorang Muhaddits (Ahli Hadits):

وَأَنْ لَا يَغُشَّ الْمُبْتَدِئِـيْـنَ، بَلْ يَدُلَّـهُمْ عَلَى الْمُهِمِّ، فَالدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ

“Dan jangan berlaku curang kepada “mubtadi-iin” (para pemula), akan tetapi hendaknya menunjukkan mereka kepada yang penting, karena agama adalah nasihat.”[12]

Kedua: Mengutamakan pembahasan yang bisa diamalkan, sebagaimana dikatakan oleh Imam As-Syathibi (wafat th. 790 H) -rahimahullaah-:

كُلُّ مِسْأَلَةٍ لَا يَنْبَنِيْ عَلَيْهَا عَمَلٌ؛ فَالْـخَوْضُ فِيْهَا خَوْضٌ فِيْمَا لَـمْ يَدُلَّ عَلَى اسْتِحْسَانِهِ دَلِيْلٌ شَرْعِيٌّ. وَأَعْنِيْ بِالْعَمَلِ: عَمَلَ الْقَلْبِ وَعَمَلَ الْـجَوَارِحِ، مِنْ حَيْثُ هُوَ مَطْلُوْبٌ شَرْعًا

“Setiap permasalahan yang tidak terbangaun di atasnya sebuah amalan; maka mendalaminya adalah masuk ke dalam kategori mendalami sesuatu yang tidak ada dalil syar’i yang menunjukkan atas bagusnya (pendalaman) tersebut. Yang saya maksud dengan amalan adalah: amalan hati dan amalan anggota badan, dilihat dari segi bahwa hal itu dituntut secara syari’at.”[13]

وَصَلَّى اللهُ عَلَى نَـبِـيِّـنَا مُـحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ

Semoga Allah memberikan shalawat dan salam atas Nabi kita Muhammad, dan atas keluarga dan Shahabat beliau.

-ditulis oleh: Ahmad Hendrix-

[1] “Da’watunaa” (hlm. 62) milik Imam Al-Albani -rahimahullaah-.

[2] “Da’watunaa” (hlm. 60-61) milik Imam Al-Albani -rahimahullaah-.

[3] “Jummaa’ul ‘Ilmi” (IX/7-8- al-Umm) karya Imam Asy-Syafi’i –rahimahullaah-.

[4] HR. Al-Bukhari (no. 631).

[5] “Majmuu’ Fataawaa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah” (I/5-6).

[6] “Majmuu’ Fataawaa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah” (I/7-10).

[7] “Muqaddimah Ibnish Shalaah” (hlm. 11-12- at-Taqyiid wal Iidhaah)

[8] Shahih: HR. Ahmad dengan sanad yang shahih. Lihat: “Sullamul Wushuul Fii Takhriij Ahaadiits ar-Rasuul” (no. 140), karya Ahmad Hendrix.

[9] “I’laamul Muwaqqi’iin” (hlm. 414- cet. Daar Thayyibah).

[10] “Su-aalaat Ibni Abil ‘Ainain” (hlm. 50-53).

[11] Perkataan Syaikh ‘Ali bin Hasan Al-Halabi -hafizhahullaah- dalam “Ahkaamul ‘Iidain” (hlm. 9-10).

[12] “Al-Muuqizhah Fii ‘Ilmi Mushthalahil Hadiits” (hlm. 66).

[13] “Al-Muwaafaqaat” (I/43).

https://www.facebook.com/ahmadhendrix.eskanto/posts/474288109578737