KAJIAN ‘AQIDAH WASITHIYYAH 6
Kemudian di sini disebutkan firman Allah -Subhaanahu Wa Ta’aalaa-:
وَتَوَكَّلْ عَلَى الْحَيِّ الَّذِيْ لاَ يَمُوْتُ…
“Dan bertawakkallah kepada Allah Yang Hidup, Yang tidak mati…” (QS. Al-Furqaan: 58)
[41]- Dalam sebagian naskah ayat ini diletakkan setelah ayat:
هُوَ الأَوَّلُ وَالآخِرُ وَالظَّاهِرُ وَالْبَاطِنُ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
“Dialah Yang Awal dan Yang Akhir, Yang Zahir dan Yang Batin; dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-Hadiid: 3)
Akan tetapi kita mengikuti matan ini yang diambil dari kitab “Majmuu’ Fataawaa” Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah -rahimahullaahu
وَتَوَكَّلْ عَلَى الْحَيِّ الَّذِيْ لاَ يَمُوْتُ …
“Dan bertawakkallah kepada Allah Yang Hidup (Kekal), Yang tidak mati. . .” (QS. Al-Furqaan: 58)
[42]- Maka di sini -sebagaimana telah dijelaskan di awal pembahasan ‘Aqidah Wasithiyyah ini- bahwasannya inti dari pembawaan ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- yang disebutkan penulis adalah untuk menjelaskan bahwasannya ayat-ayat dan hadits-hadits yang tersebut di dalamnya adalah: terkandung nama-nama dan sifat-sifat Allah -Subhaanahu Wa Ta’aalaa-. Bahkan sebagian Ulama ketika mensyarah/
Akan tetapi -sebagaimana telah kita jelaskan di awal- metode kita adalah menjelaskan faedah yang terdapat dalam ayat ini, walaupun mungkin terkadang tidak ada kaitannya dengan penyebutan nama dan sifat Allah -Subhaanahu Wa Ta’aalaa- (keluar dari pembahasan) atau mungkin ada kaitannya akan tetapi tidak langsung.
[43]- Maka pada ayat ini -yang telah dibawakan oleh penulis- nampak sekali bahwasannya dibawakan ayat ini untuk menyebutkan nama Allah -Subhaanahu Wa Ta’aalaa- yaitu: “Al- Hayyu (Yang Maha Hidup)” dan sifat “Laa Yamuutu (Tidak Mati)”.
[44]- Kemudian juga pada ayat ini dijelaskan tentang tawakkal. Ayat ini berisi perintah dari Allah -Subhaanahu Wa Ta’aalaa- untuk bertawakal kepada-Nya, Yang Maha Hidup, Yang tidak mengalami kematian -sebagaimana yang yang telah kita jelaskan-.
Makna tawakkal berasal dari kata:
تَوَكَّلَ – يَتَوَكَّلُ – تَوَكُّلاً
Kata (تَوَكُّلاً) = bentuk masdhar-nya.
Kata (تَوَكَّلَ) = bentuk fi’il madhi-nya.
Dan kata (تَوَكَّلْ) = bentuk fi’il amr-nya.
Kata (التَّوَكُّلُ) “At-Tawakkulu” diambil dari:
)وَكَلَ الشَّيْءَ إِلَى غَيْرَهُ(
= memasrahkan sesuatu kepada orang lain.
Jika dikatakan:
( التَّوَكُّلُ عَلَى الْغَيْرِ)
bertawakkal kepada orang lain = pasrah kepadanya. Ini makna secara bahasa.
[45]- Sebagian Ulama memberikan pengertian bertawakkal kepada Allah yaitu: jujur dalam bersandar kepada Allah dalam mendapatkan manfaat dan menolak bahaya disertai dengan rasa percaya kepada-Nya dan dengan melakukan sebab-sebab yang dibenarkan.
– Yaitu engkau benar-benar bersandar kepada Allah -Subhaanahu Wa Ta’aalaa- dengan penyandaran yang jujur dimana engkau tidak meminta kepada selain Allah, tidak meminta pertolongan kepada selain Allah, tidak mengharap kepada selain Allah, dan tidak takut kepada selain Allah. Jadi, engkau benar-benar bersandar kepada Allah dalam mendapatkan manfaat dan menolak bahaya, juga disertai rasa percaya kepada Allah -Subhaanahu Wa Ta’aalaa- dengan tetap melaksanakan sebab-sebab yang Allah izinkan yaitu sebab-sebab yang tidak terlarang.
– Jadi secara lahiriah: anggota badan kita tetap melakukan sebab, dan secara batin/hati kita: keyakinan kita bertawakkal kepada Allah -Subhaanahu Wa Ta’aalaa-, bersandar kepada-Nya.
Maka barang siapa yang tidak bertawakkal kepada Allah -Subhaanahu Wa Ta’aalaa-, akan tetapi sebaliknya; justru mengandalkan kekuatan, harta, dan jumlah; maka dia akan dihinakan oleh Allah -Subhaanahu Wa Ta’aalaa-, tidak akan diberikan pertolongan.
Dan ini pernah terjadi pada para Shahabat ketika mereka ‘ujub (bangga) dengan jumlah yang banyak, padahal biasanya mereka dengan jumlah yang sedikitpun: Allah menangkan. Akan tetapi ketika banyak jumlahnya; justru muncul perkataan yang tidak pantas, yaitu mereka mengatakan bahwasannya mereka tidak akan kalah karena jumlahnya banyak, sehingga Allah tidak tolong mereka dan ini Allah firmankan dalam Al-Qur’an:
لَقَدْ نَصَرَكُمُ اللهُ فِي مَوَاطِنَ كَثِيرَةٍ وَيَوْمَ حُنَيْنٍ إِذْ أَعْجَبَتْكُمْ كَثْرَتُكُمْ فَلَمْ تُغْنِ عَنْكُمْ شَيْئًا وَضَاقَتْ عَلَيْكُمُ الأرْضُ بِمَا رَحُبَتْ ثُمَّ وَلَّيْتُمْ مُدْبِرِينَ
“Sesungguhnya Allah telah menolong kamu (mukminin) di banyak medan perang, dan (ingatlah) perang Hunain, ketika jumlahmu yang besar itu membanggakan kamu, tetapi (jumlah yang banyak itu) sama sekali tidak berguna bagimu, dan bumi yang luas itu terasa sempit bagimu, kemudian kamu berbalik ke belakang dan lari tunggang langgang.” (QS. At-Taubah: 25)
Inilah keadaan orang yang tidak bertawakkal kepada Allah, walaupun sudah terwujud sebab untuk kemenangan, keberhasilan; akan tetapi tanpa tawakkal: maka tidak akan Allah tolong. Begitu pula sebaliknya; orang yang bertawakkal kepada Allah akan tetapi tidak melakukan sebab yang diizinkan: maka ini juga tidak jujur tawakkalnya, bahkan kurang akalnya selain kurang Agamanya, karena ini celaan yang jelas terhadap hikmah Allah -Subhaanahu Wa Ta’aalaa-.
[46]- Jadi sebagaimana dijelaskan oleh Al- Imam Ibnu Katsir -rahimahullaahu
فَالسَّعْيُ فِيْ السَّبَبِ لاَ يُنَافِيْ التَّوَكُّلِ
“Seorang melakukan usaha dalam menjalankan sebab, itu tidak bertentangan dengan tawakkal.”
Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- pernah bersabda:
لَوْ أَنَّكُمْ تَوَكَّلُوْنَ عَلَى اللهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرَزَقَكُمْ كَمَا يَرْزُقُ الطَّيْرَ تَغْدُوْ حِمَاصًا وَتَرُوْحُ بِطَانًا
“Kalaulah seandainya kalian bertawakkal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakkal kepada-Nya; niscaya Allah akan memberikan rizqi kepada kalian sebagaimana Allah memberikan rizqi kepada burung. Burung pergi di pagi hari dalam keadaan perut lapar dan pulang di sore hari dalam keadaan perut kenyang.”
Maka di sini Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- mengatakan kepada kita (kaum Muslimin) agar benar-benar bertawakkal kepada Allah -Subhaanahu Wa Ta’aalaa-, niscaya Allah akan memberikan rizqi. Namun bukan berarti tawakkal itu tidak berusaha, karena di sini disebutkan bahwa Allah memberikan rizqi kepada burung sedangkan burung tidak diam saja di sangkarnya; akan tetapi pergi berusaha mencari makanan, pergi dalam keadaan perut kosong dan pulang dalam keadaan perut kenyang.
Kemudian juga Imam Ibnu Katsir -setelah membawakan hadits yang diriwayatkan oleh Imam At- Tirmidzi, An-Nasa-i, dan Ibnu Majah di atas-; beliau berkata:
فَأَثْبَتَ لَهَا رَوَاحًا وَغُدُوًّا لِطَلَبِ الرِّزْقِ مَعَ تَوَكُّلِهَا عَلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ
“Nabi telah tetapkan burung ini pulang dan pergiuntuk mencari rizqi disertai tawakkalnya kepada Allah -‘Azza Wa Jalla-.”
Jadi tetap ada usaha.
Imam Ibnu Rajab Al-Hanbali -rahimahullaahu
Maka inilah Sunnah Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-; yaitu: menjalankan sebab yang diperbolehkan, baru kemudian bertawakkal.
Jadi harus ada 2 (dua) hal tersebut: (1)menjalankan sebab, dan (2)jangan lupa bertawakkal, karena akan sia-sia kalau tidak ada penyandaraan (bertawakkal) kepada Allah. Demikian juga bertawakkal dan jangan lupa menjalankan sebab.
Maka jelas keduanya (bertawakkal dan menjalankan sebab yang diperbolehkan) tidak akan bertentangan.
[47]- Dan juga di sini kita mengetahui bahwasannya tidak mungkin untuk golongan Qadariyyah -jenis yang baru- bisa bertawakkal kepada Allah, karena kita mengetahui bahwa mereka adalah menolak keterkaitan perbuatan hamba dengan takdir Allah -Subhaanahu Wa Ta’aalaa-.
Kemudian juga nanti ada pembahasan tersendiri dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah -rahimahullahu-
Maka kalau demikian halnya; mereka berkeyakinan bahwasannya perbuatan mereka, usaha mereka, apa yang mereka lakukan: di luar takdir Allah -Subhaanahu Wa Ta’aalaa-, apakah kira-kira mungkin mereka itu bertawakkal kepada Allah? Bersandar kepada-Nya dalam mewujudkan keinginan mereka baik urusan dunia maupun akhirat? Maka ini tidak mungkin! Kenapa? Karena mereka tidak berkeyakinan bahwasannya Allah mentakdirkan perbuatan mereka. Inilah jenis Qadariyyah yang baru, karena ada Qadariyyah yang lama yang mengingkari ilmu Allah -Subhaanahu Wa Ta’aalaa- dan mereka inilah yang dikafirkan oleh para Ulama.
[48]- IBADAH DAN ISTI’ANAH (TAWAKKAL)
[Kaitan antara Isti’aanah (minta pertolongan kepada Allah) dengan Tawakkal (bersandar kepada Allah) adalah seperti yang dijelaskan oleh Imam Al-Maqrizi dalam “Tajriidut Tauhiid Al-Mufiid” (hlm. 77):
“Kalau ada yang bertanya: Apa hakikat Isti’aanah secara amalan?
Jawabannya adalah: (Isti’aanah) itu adalah apa yang terungkapkan dengan (istilah) Tawakkal.”]
Imam Ibnul Qayyim -rahimahullahu-
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
“Hanya kepada Engkaulah kami beribadah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan.” (QS. Al-Faatihah: 5)
Beribadah kepada Allah dan minta tolong kepada-Nya atas segala urusan, menyandarkan kesuksesan, urusan kita -baik urusan Agama maupun dunia- kepada Allah -Subhaanahu Wa Ta’aalaa-.
Oleh karena itu dijelaskan oleh Ibnu Katsir -rahimahullahu-
أَيْ لاَ نَعْبُدُ إِلاَّ إِيَّاكَ، وَلاَ نَتَوَكَّلُ إِلاَّ عَلَيْكَ، وَهَذَا هُوَ كَمَالُ الطَّاعَةِ. وَالدِّيْنُ يَرْجِعُ كُلُّهُ إِلَى هٰذَيْنِ الْمَعْنَيَيْنِ
“Yakni: kami tidak beribadah kecuali hanya kepada-Mu, dan tidak bertawakkal kecuali hanya kepada-Mu, dan ini merupakan kesempurnaan ketaatan. Dan Agama ini semuanya kembali kepada 2 (dua) makna ini (tawakkal dan ibadah), dan ini seperti perkataan sebagian Salaf bahwasannya: Surat Al- Faatihah adalah inti/rahasia dari Al- Qur’an, dan rahasianya terletak pada kalimat ini: “Hanya kepada Engkaulah kami beribadah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan.”
Perkataan: إِيَّاكَ نَعْبُدُ = Hanya kepada Engkaulah kami beribadah.
Maka di sini kita berlepas diri dari kesyirikan (mempersekutuka
Perkataan: وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ = Dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan.
Maka di sini kita berlepas diri dari daya dan upaya, kekuatan kita sendiri, kita serahkan semuanya kepada Allah -Subhaanahu Wa Ta’aalaa-, dan benar-benar pasrah kepada-Nya.
Kemudian kata beliau (Imam Ibnu Katsir) -rahimahullahu-
وَهَذَا الْمَعْنىَ فِيْ غَيْرِ آيَةٍ مِنَ الْقُرْآنِ
“Dan makna semacam ini (penggabungan antara ibadah dan tawakkal) disebutkan dalam beberapa ayat Al-Qur’an. Seperti dalam surat Hud:
… فَاعْبُدْهُ وَتَوَكَّلْ عَلَيْهِ
“ …Beribadahlah kepada-Nya dan bertawakkal kepada-Nya” (QS. Hud: 123).
[49]- ULUHIYYAH DAN RUBUBIYYAH
Kemudian juga pada ayat ini (pada surat Al- Faatihah) disebutkan oleh Al- Imam Ibnul Qayyim -rahimahullahu-
وَلِهٰذَا كَانَ صَلاَحُ الْعَبْدِ وَسَعَادَتُهُ بِتَحْقِيْقِ مِعْنىَ قَوْلِهِ : {إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ}
“Oleh karena itulah kebaikan hamba dan kebahagiannya terdapat dalam: mewujudkan firman Allah: “Hanya kepada Engkaulah kami beribadah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan”.
Perkataan: إِيَّاكَ نَعْبُدُ = Hanya kepada Engkaulah kami beribadah.
Ini adalah makna Uluuhiyyah (Hak Allah unuk diibadahi). karena hanya Allah yang diibadahi , dicintai dengan pengagungan, ketundukan hati, takut, harap itulah makna:
إِيَّاكَ نَعْبُدُ
= beribadah hanya kepada Allah, karena Dialah yang mempunyai Uluuhiyyah (hak untuk diibadahi)
Perkataan: وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ = Dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan.
Ini makna Rubuubiyyah Allah -Subhaanahu Wa Ta’aalaa-. Karena Ar-Raab yang memberikan pertolongan kepada hamba-Nya, memberikannya petunjuk pada mashlahat-mashl
Jadi di dalam kalimat إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ (Hanya kepada Engkaulah kami beribadah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan); di dalamnya terdapat makna Uluuhiyyah dan Rubuubiyyah.
[48]- EMPAT GOLONGAN MANUSIA DALAM IBADAH DAN ISTI’ANAH
Manusia dalam masalah ibadah dan isti’aanah (minta pertolongan) kepada Allah terbagi menjadi beberapa kelompok:
1- Kelompok yang paling sempurna yaitu orang yang benar-benar beribadah kepada Allah dan minta pertolongan kepada-Nya (bertawakkal kepada-Nya).
Minta pertolongan kepada Allah terutama dalam masalah ibadah dan dalam hal-hal yang dapat mendekatkan diri kepada Allah -Subhaanahu Wa Ta’aalaa-, seperti yang Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- ajarkan kepada Mu’adz bin Jabal –Radhiyallahu ‘anhu-:
اللَّهُمَّ أَعِنِّيْ عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ
“Ya Allah, Berilah pertolongan kepadaku untuk senantiasa bisa berdzikir kepada-Mu (mengingat-Mu),
Intinya do’a yang paling baik adalah: minta pertolongan dalam hal-hal yang membuat Allah ridha, minta pertolongan dalam urusan Agama. Allah -Subhaanahu Wa Ta’aalaa- telah isyaratkan tentang hal ini dalam firman-Nya:
وَمِنْهُمْ مَنْ يَقُوْلُ رَبَّنَا آتِنَا فِيْ الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِيْ الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
“Dan di antara mereka ada orang yang berdoa: “Wahai Rabb kami! Berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan lindungilah kami dari adzab Neraka.” (QS. Al-Baqaarah: 201)
Maka pada ayat ini menunjukkan boleh dan bukan termasuk hal tercela: seseorang meminta kepada Allah ntang urusan keduniaan, akan tetapi jangan lupa meminta dalam urusan akhirat. Karena telah ada dalam hadits Qudsi -sebagaimana telah kita bahas dalam Hadits Arba’in-:
… يَا عِبَادِيْ كُلُّكُمْ جَائِعٌ إِلاَّ مَنْ أَطْعَمْتُهُ فَاسْتَطْعِمُوْ
“…Wahai hambaku! Setiap dari kalian adalah lapar kecuali orang yang aku beri makan, maka mintalah makanan kepada-Ku; niscaya aku beri kalian makan…”
Maka di sini Allah sendiri yang memerintahkan kita untuk minta makan kepada-Nya. Jadi boleh dan tidak tercela: meminta urusan keduniaan, akan tetapi kemudian tidak lupa urusan akhirat.
2- Orang yang Isti’aanah (minta pertolongan) kepada Allah akan tetapi tidak beribadah.
Mereka minta pertolongan kepada Allah dalam urusan keduniaan, dalam melampiaskan syahwatnya, dan seterusnya sehingga lupa akan akhirat. Allah isyaratkan tentang kelompok ini di dalam firman-Nya:
فَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُوْلُ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا وَمَا لَهُ فِي الآخِرَةِ مِنْ خَلاقٍ
“… Maka di antara manusia ada orang berdoa: “Wahai Rabb kami! Berilah kami (kebaikan) di dunia.” dan di akhirat dia tidak memperoleh bagian apa pun.” (QS. Al-Baqaarah: 200)
3- Orang yang beribadah akan tetapi dia tidak Isti’aanah (minta pertolongan) kepada Allah.
Mereka benar dalam beribadah; seperti: mempunyai wirid khusus dan seterusnya, akan tetapi tidak minta pertolongan kepada Allah, maka ini berbahaya; karena dikhawatirkan akan ada rasa ‘ujub (berbangga); merasa ibadahnya adalah atas usahanya sendiri, bukan karena petunjuk/
((لَنْ يَدْخُلَ أَحَدٌ مِنْكُمُ الْـجَنَّةَ بِعَمَلِهِ)) قَــالُــوْا: وَلَا أَنْــتَ يَــا رَسُــوْلَ اللهِ؟ قَــالَ: ((وَلَا أَنَا، إِلَّا أَنْ يَــتَـغَمَّدَن
“Tidak ada seorang pun diantara kalian yang masuk Surga sebagai ganti atas amalannya.” Para shahabat bertanya: Anda juga tidak wahai Rasulullah? Beliau bersabda: “Tidak juga saya, kecuali jika Allah meliputiku dengan rahmat dan karunia dari-Nya.”
Oleh karena itulah ketika orang masuk Surga; maka mereka memuji Allah, seperti yang Allah firmankan dalam Al-Qur’an:
وَالَّذِيْنَ آمَنُوْا وَعَمِلُوْا الصَّالِحَاتِ لاَ نُكَلِّفُ نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا أُولَئِكَ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ * وَنَزَعْنَا مَا فِيْ صُدُوْرِهِمْ مِنْ غِلٍّ تَجْرِيْ مِنْ تَحْتِهِمُ الأَنْهَارُ وَقَالُوْا الْحَمْدُ لِلّهِ الَّذِيْ هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلاَ أَنْ هَدَانَا اللّهُ لَقَدْ جَاءَتْ رُسُلُ رَبِّنَا بِالْحَقِّ وَنُوْدُوْا أَنْ تِلْكُمُ الْجَنَّةُ أُوْرِثْتُمُوْه
“Dan orang-orang yang beriman serta mengerjakan kebajikan, Kami tidak membebani seseorang melainkan menurut kesanggupannya.
Dan dalam ayat ini menjelaskan bahwa seseorang masuk Surga dengan sebab amalnya akan tetapi bukan sebagai ganti (Surga), sedang yang Nabi sabdakan di atas -yang tidak bisa itu- adalah: sebagai ganti.
Jadi amal seorang hamba itu bukan sebagai ganti surga Allah, karena orang bisa beramal; maka itu adalah nikmat (petunjuk) dari Allah, belum lagi nikmat-nikmat lain yang banyak sekali (yang tidak bisa dihitung), yang kalaulah amalan hamba ditukar sebagai rasa syukur dari nikmat-nikmat tersebut; niscaya tidak akan bisa untuk menggantikannya
Jadi sekali lagi, amal seorang hamba tidak akan mampu mengganti nikmat-nikmat Allah yang banyak sekali (yang tidak bisa dihitung). Allah -Subhaanahu Wa Ta’aalaa- berfirman:
… وَإِنْ تَعُدُّوْا نِعْمَةَ اللهِ لاَ تُحْصُوْهَا …
“… Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak dapat menghitungnya…”
Maka kesimpulannya orang yang beribadah tanpa Isti’aanah (minta pertolangan) kepada Allah ini berbahaya, karena akan timbul rasa ujub (berbangga) dengan amal shalihnya, merasa sudah beramal shalih karena usahanya sendiri; bukan pertolongan dari Allah.
4- Kelompok yang terburuk yaitu orang yang tidak beribadah dan tidak Isti’aanah (minta pertolongan) kepada Allah.
[49]- Masuk pembahasan yang berkaitan dengan ayat ini adalah penyebutan Nama dan Sifat Allah:
(1)- Al- Hayyu (Yang Maha Hidup).
Di sini kita diperintahkan untuk bertawakkal kepada Al- Hayyu (Allah Yang Maha Hidup).
Makna Al- Hayyu (Yang Maha Hidup) = Nama Allah yang mengandung semua sifat yang sempurna dalam kehidupan -sebagaimana telah kita jelaskan-.
Kemudian kaitannya dengan tawakkal adalah: hanya Allah lah yang pantas untuk kita bersandar kepada-Nya karena Dia memiliki hidup yang sempurna yang tidak tertimpa kematian.
(2)- Al- Hayaah (sifat hidup)
Di dalam ayat ini juga terdapat penetapan sifat Al- Hayaah (hidup) yang terkandung di dalam nama Allah Al- Hayyu (Yang Maha Hidup).
(3)- Penafian sifat kematian bagi Allah -Subhaanahu Wa Ta’aalaa-.
Dan juga di dalam ayat ini terdapat penafiaan sifat kematian bagi Allah. Dan telah kita jelaskan; kalau ada sifat penafian; yaitu: karena kandungan kesempurnaan lawannya. Maka penafian sifat kematiaan bagi Allah = mengandung kesempurnaan sifat hidup bagi Allah -Subhaanahu Wa Ta’aalaa-.
Jadi di sini ada 2 (dua) sifat dan 1 (satu) nama.
-ditranskrip oleh: Al-Akh Alda, dan diedit kembali oleh pemateri: Ustadz Ahmad Hendrix-
Download Audionya :
https://drive.google.com/file/d/0B3FT6ui1GzNVOEdDaEpuOHd5MUE/view