Menuntut Ilmu Syari’i semaksimal Mungkin

HADITS KEEMPAT

حديث: ((لَيْسَ الْخَبَرُ كَالْمُعَايَنَةِ، إِنَّ اللهَ -عَزَّ وَجَلَّ- أَخْبَرَ مُوسَى بِمَا صَنَعَ قَوْمُهُ فِي الْعِجْلِ؛ فَلَمْ يُلْقِ الْأَلْوَاحَ، فَلَمَّا عَايَنَ مَا صَنَعُوا؛ أَلْقَى الْأَلْوَاحَ، فَانْكَسَرَتْ))

Hadits: “(Mendapat) kabar itu tidak sama dengan melihat langsung, sesungguhnya Allah -‘Azza Wa Jalla- mengabarkan kepada Musa apa yang diperbuat oleh kaumnya terhadap patung anak sapi, dan ketika itu (Musa) belum melemparkan lembaran-lembaran (Taurat). Akan tetapi ketika melihat langsung apa yang mereka perbuat; (Musa marah dan) melemparkan lembaran-lembaran itu sampai pecah (rusak).

SHAHIH: Dikeluarkan oleh Ahmad (no. 2447- cet. Daarul Hadiits), Ibnu Hibban (no. 6223- cet. Daarul Fikr), dan Al-Hakim (no. 3330- cet. Daarul Fikr), dari dua jalan, dari Husyaim, dari Abu Bisyr, dari Sa’id bin Jubair, dari Ibnu ‘Abbas -radhiyallaahu ‘anhumaa-, dia berkata: Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- bersabda: … kemudian disebutkan lafazh haditsnya.

Dan dikeluarkan oleh Ahmad (no. 1842- cet. Daarul Hadiits), langsung dari Husyaim, dengan mencukupkan kepada sabda Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-:

((لَيْسَ الْخَبَرُ كَالْمُعَايَنَةِ))

“(Mendapat) kabar itu tidak sama dengan melihat langsung.”

Al-Hakim berkata:

“Shahih, sesuai syarat Asy-Syaikhain (Al-Bukhari dan Muslim).” Dan disepakati oleh Adz-Dzahabi.

Saya katakan: Perkataan keduanya kurang tepat. Karena Husyaim -yaitu: Ibnu Basyir Al-Wasithi- walaupun dia termasuk perawi Al-Bukhari dan Muslim; akan tetapi dia adalah Mudallis, dan dia telah menggunakan عَنْ ‘An dalam periwayatannya.

Dan Al-Hafizh Ibnu Hajar telah memperingatkan dari hal semacam ini dalam “An-Nukat ‘Alaa Ibni Ash-Shalaah” (I/299-301); yakni: BAHWA DALAM KITAB Al-MUSTADRAK SERING TERJADI KESALAHAN SEMACAM INI: DIKATAKAN SESUAI SYARAT AL-BUKHARI DAN MUSLIM; AKAN TETAPI ADA ‘ILLAH (PENYAKIT), SEPERTI: ADA RAWI YANG MUDALLIS.

Akan tetapi di sini Husyaim memilki “Mutaaba’ah” (penyerta yang menguatkannya), dari periwayatan: Abu ‘Awanah -dan namanya adalah: Wadh-dhah Al-Yasykuri-, dan dia tsiqatun tsabtun, termasuk perawi Al-Kutubus Sittah.

Dikeluarkan oleh: Ibnu Abi Hatim dalam Tafsiir-nya (no. 8998), Ibnu Hibban (no. 6223- cet. Daarul Fikr), dari dua jalan, darinya (Abu ‘Awanah), dan seterusnya.

Dan hadits ini dishahihkan oleh Imam Al-Albani -rahimahullaah- dalam “Shahiih Al-Jaami’ Ash-Shaghiir (no. 537)”.

PENJELASAN HADITS:

[1]- Allah -Ta’aalaa- berfirman:

وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ أَرِنِي كَيْفَ تُحْيِ الْمَوْتَى قَالَ أَوَلَمْ تُؤْمِنْ قَالَ بَلَى وَلَكِنْ لِيَطْمَئِنَّ قَلْبِي قَالَ فَخُذْ أَرْبَعَةً مِنَ الطَّيْرِ فَصُرْهُنَّ إِلَيْكَ ثُمَّ اجْعَلْ عَلَى كُلِّ جَبَلٍ مِنْهُنَّ جُزْءًا ثُمَّ ادْعُهُنَّ يَأْتِينَكَ سَعْيًا وَاعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

“Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata: “Wahai Rabb-ku, perlihatkanlah padaku bagaimana Engkau menghidupkan orang mati.” Allah berfirman: “Belum yakinkah kamu?” Ibrahim menjawab: “Aku telah meyakininya, akan tetapi agar hatiku tenang (mantap dengan imanku).” Allah berfirman: “Kalau begitu, ambillah empat ekor burung, lalu cincanglah semuanya olehmu, kemudian letakkan di atas masing-masing bukit: satu bagian, kemudian panggillah mereka; niscaya mereka datang kepadamu dengan segera.” Ketahuilah bahwa Allah Maha Perkasa, Maha Bijaksana.” (QS. Al-Baqarah: 260)

[2]- Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di -rahimahullaah- berkata:

“Oleh karena itulah; ‘AINUL YAQIIN -yaitu: melihat langsung dengan mata kepala- lebih besar dari ‘ILMUL YAQIIN -yaitu: ilmu yang didapatkan dari pengabaran-. Dan yang lebih tinggi lagi dari keduanya adalah: HAQQUL YAQIIN -yaitu: yang langsung dirasakan-.

Sehingga, selayaknya bagi seorang hamba untuk berusaha mendapatkan ilmu yang bermanfaat, dan tidak mencukupkan diri dengan ‘ilmul yaqin kalau memang dia mampu untuk mendapat ‘ainul yaqin; sebagaimana Ibrahim Al-Khalil -‘alaihis salaam- meminta kepada Allah agar Allah menunjukkan kepadanya bagaimana Dia menghidupkan yang sudah mati; AGAR BISA MENINGKAT DARI SATU ILMU MENUJU ILMU YANG LEBIH TINGGI LAGI.”

[“Al-Mu’iin ‘Alaa Tahshiil Aadaabil ‘ilmi Wa Akhlaaqil Muta’allimiin” (hlm. 260)]

[3]- Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i -rahimahullaah- berkata:

“Selayaknya bagi para penuntut ilmu untuk mencapai usaha yang maksimal dalam memperbanyak ilmu, dan bersabar atas segala penghalang dalam menuntutnya. Serta mengikhlaskan niatnya karena Allah dalam mencapai ilmu; baik ilmu yang berupa nash (lafazh dari dalil-dalil) maupun istinbaath (pengambilan kesimpulan dari lafazh). Serta berharap kepada Allah agar menolongnya dalam (menuntut ilmu) tersebut; karena kebaikan tidak akan didapatkan melainkan hanya dengan pertolongan-Nya.”

[“Ar-Risaalah” (hlm. 109, no. 45)]

-ditulis oleh: Ustadz Ahmad Hendrix-