JAWABAN TENTANG MANHAJ

JAWABAN TENTANG MANHAJ

JAWABAN TENTANG MANHAJ

SYAIKH SULAIMAN BIN SALIMULLAH AR-RUHAILI -hafizhahullaah- berkata:

Kita mulai dengan pertanyaan berikut ini:

[PERTANYAAN:]

Telah terlihat pada waktu belakangan di medan dakwah Salafi di negeri kami, terpengaruhnya sebagian da’i dengan manhaj ikhwani. Dan hal itu nampak pada perkataan mereka, tulisan mereka, dan perbuatan mereka.

Contoh dari hal itu adalah:

  1.  Sebagian mereka berkata: “boleh bagi da’i Salafi untuk sibuk dengan politik dan parlemen; dengan alasan untuk meminimalisir kejelekan di dalamnya,
  2.  Dibolehkan bagi Salafiyyin untuk bekerja sama dengan orang orang orang Haroki (pergerakan) dan Ahlul Bid’ah dalam rangka  menghadapi Syi’ah.
  3.  Dibolehkan bagi kaum muslimin untuk mengikuti demonstrasi,
  4.  Dibolehkan bagi da’i Salafi untuk mengkritik presiden di internet,
  5.  Dan dakwah tidak harus dimulai dengan Tauhid, agar tidak membuat orang lari (dari dakwah).

Maka apa arahan dan nasehat anda?

[JAWABAN:]

Saya katakan:

Yang pertama saya perhatikan dari pertanyaan ini, bahwa penanya semangat terhadap Sunnah dan Manhaj Salaf, dimana ia berkata: “telah terlihat pada waktu belakangan di medan dakwah Salaf di negeri kami, terpengaruhnya sebagian da’i dengan manhaj ikhwani”

Saya katakan: “tidak mesti bahwa pendapat-pendapat (yang muncul darinya) ini, merupakan bentuk terpengaruhnya dia dengan manhah ikhwani. Memang, bisa jadi ia memang terpengaruh, tapi bisa jadi karena ia berijtihad dengan ijtihad yang salah.

Akan tetapi intinya: kalau salah dan menyelisihi manhaj, maka tetap ditolak, baik sebabnya karena ia terpengaruh (manhaj yang salah) maupun karena dia ijtihad.

Dan pendapat-pendapat yang disebutkan di sini tidak diragukan lagi menurutku bahwa itu salah, menyelisihi manhaj, dan harus dijauhi.

(1) – Masalah masuknya da’i ke dalam politik, ini tidak pantas. Dakwah Salaf harus jelas. Dakwah Tauhid dan Sunnah. Tujuannya bukan untuk mengumpulkan manusia, tapi tujuannya adalah untuk mendakwahi manusia.

Da’i Salafi melihat kepada manusia dengan pandangan syar’i dan pandangan belas kasihan. Adapun (kalau dibalik, yakni) melihat syari’at dengan pandangan manusia, yakni (ia berpendapat):

  • hal ini disukai manusia, maka inilah yang kita bahas,
  • hal itu tidak disukai manusia; maka tidak kita bahas

maka ini bukanlah jalan da’i salafi.

Da’i Salafi berdakwah mengajak kepada apa yang wajib (didakwahkan), walaupun tidak disukai manusia.

Maka pondasi da’i salafi adalah mengajak manusia keluar dari syirik dan bid’ah menuju Tauhid dan Sunnah, dari kesalahan dan kesesatan menuju kepada amalan yang benar.

(2) – Dan Salafiyyun tidak butuh untuk bekerjasama dengan selain mereka. Salafiyyun tegak dengan dakwah mereka dan membantah kebatilan dengan manhaj dan cara yang benar.

Kalau ada orang selain Salafi membantah kebatilan maka alhamdulillaah, akan tetapi apa yang mendorong kita untuk berada dibarisan (orang) tersebut?! Kita berada di barisan kita sendiri, di jalan kita sendiri, dan di dakwah kita sendiri. Kita tidak bercampur dengan Ahlul Bid’ah, tidak mendekati mereka, dan tidak menjadi bagian dari mereka.

Kalau sebagian Ahlul Bid’ah membantah sebagian bid’ah, maka ini merupakan bantahan sebagian Ahlul Bid’ah kepada Ahlul Bid’ah yang lainnya. Dan Allah menolong agamanya dengan apa yang Dia kehendaki, dan terkadang Allah menolong agamanya melalui seorang yang fajir, akan tetapi kita tidak perlu untuk bersamanya.

KITA SEKARANG BUKANLAH DALAM BARISAN PERANG, TAPI KITA SEDANG BERADA DI BARISAN DAKWAH. Sehingga kita berada di dakwah kita dengan jelas, menjauhi Ahlul Bid’ah dan berbeda dengan mereka.

(3) – Adapun demonstrasi, maka ulama Ahlus Sunnah kibar yang diakui (keilmuannya) semuanya melarang dari demonstrasi, mereka tidak membolehkannya.

Dan kalaupun (demonstrasi) itu hukumnya boleh, maka kita tidak membutuhkannya dalam dakwah kita. Dakwah kita lebih mulia darinya. Terlebih lagi kita sudah tahu bahwa demonstrasi tidak dibolehkan.

(5) – Adapun perkataan bahwa “dakwah tidak harus dimulai dengan Tauhid” maka pada hakikatnya ini adalah kesalahan besar.

Barangsiapa yang mati tidak di atas Tauhid, maka tidak bermanfaat baginya ketaatan yang ia lakukan. Dan Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-, bahkan seluruh rasul, mereka diutus dengan membawa Tauhid. Allah -Ta’aalaa- berfirman:

{وَلَقَدْ بَعَــثْنَا فِـيْ كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوْتَ….}

“Dan sungguh, Kami telah mengutus seorang rasul untuk setiap umat (untuk menyerukan): ‘Beribadahlah kepada Allah, dan jauhilah thaghut!’ …” (QS. An-Nahl: 36)

Tidaklah seorang rasul pun berdakwah; melainkan memulai dengan Tauhid. Padahal kaumnya tidak suka kepada Tauhid.

Tidak ada orang yang lebih baik akhlaknya dan lebih manis tutur katanya dibandingkan Nabi Muhammad -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-. Padahal bisa saja Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- memulai dakwahnya kepada orang-orang Quraisy dengan apa yang mereka sukai, dengan akhlak yang baik dan lainnya, agar mereka suka kepada beliau, baru kemudian mendakwahkan Tauhid. Akan tetapi beliau tidak mulai dengan hal tersebut, bahkan beliau mulai dengan:

((يَا أَيُّهَا النَّاسُ! قُوْلُوْا: لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ؛ تُفْلِحُوْا))

“Wahai manusia! Katakanlah “Laa Ilaaha Illallaah”; niscaya kalian akan beruntung.”

Dan dakwah adalah berdasarkan dalil, bukan menuruti keinginan dan pendapat kita.

Dan kita tidak berdakwah mengajak kepada diri kita untuk mencari massa, kita berdakwah mengajak kepada Allah.

Dan Allah -‘Azza Wa Jalla- telah menjelaskan dakwah syar’i yang sesuai dengan Manhaj Salaf dalam firman-Nya:

{قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ}

“Katakanlah (Muhammad): “Inilah jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan yakin, Maha Suci Allah, dan aku tidak termasuk orang-orang musyrik.” (QS. Yusuf: 108)

Setiap da’i harus berada di atas jalan Rasul, bukan jalan yang ia buat sendiri. Dan dakwahnya harus mengajak kepada Allah, tidak mengajak kepada organisasi, tidak mengajak kepada partai, dan tidak mengajak kepada politik. Akan tetapi mengajak kepada Allah.

Dan dakwah mengajak kepada Allah yang paling agung adalah, dakwah mengajak kepada hak Allah (untuk diibadahi), yakni dakwah mengajak kepada Tauhid.

Dan da’i harus berdakwah dengan ilmu. Tidak (hanya) dengan membawakan kisah-kisah, atau dengan kefasihan yang kosong dari ilmu. Akan tetapi berdakwah dengan ilmu.

Dan dakwahmu harus berisi pensucian Allah dari syirik. Dan engkau tidak akan bisa mensucikan Allah, kecuali jika engkau mengajarkan kepada manusia Tauhid Rububiyyah, Tauhid Uluhiyyah, dan Tauhid Asma Wa Shifat.

Dan engkau harus jelas dalam berdakwah bahwa engkau di atas Tauhid dan engkau tidak termasuk orang musyrik. Janganlah engkau lembek dalam dakwahmu dengan mengatakan Tauhid tidak disukai di negeri kita, Tauhid itu cocoknya di Saudi Arabia. Sehingga ketika engkau ditanya “apa hukum istighatsah kepada selain Allah?” maka jawabanmu berputar-putar, dan tidak tegas mengatakan itu haram. Maka ini bukanlah manhaj syar’i, dan ini bukanlah manhaj yang benar.

Maka wasiatku untuk semua untuk memperhatikan ayat tersebut:

{قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ}

“Katakanlah (Muhammad): “Inilah jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan yakin, Maha Suci Allah, dan aku tidak termasuk orang-orang musyrik.” (QS. Yusuf: 108)

Demikianlah hendaknya dakwah.

Dan selanjutnya saya ingin mengingatkan bahwa saya tidak sedang membicarakan individu tertentu. Karena bisa jadi salah seorang saudara kita dia telah salah dalam masalah-masalah di atas. Dan saya berharap kepada semua saudaraku kalau ada yang melakukan kesalahan di antara mereka kemudian diingatkan, maka hendaklah ia rujuk dari kesalahannya dan kembali kepada kebenaran.

Inilah jawaban tentang Manhaj, dan yang harus dipraktekkan oleh da’i salafi. Inilah yang saya yakini dan saya beragama -kepada Allah- dengan (keyakinan) ini.

Benar bahwa kita harus memperhatikan keadaan di tiap yang negeri berbeda-beda, akan tetapi (dalam menyesuaikan keadaan) jangan sampai mengorbankan agama.

Mungkin cara penyampaian berbeda-beda. Cara penyampaian ke orang Indonesia berbeda dengan cara penyampaian ke orang Amerika atau Saudi Arabia. Akan tetapi tetap harus menggunakan cara penyampaian yang sesuai dengan dakwah.

Contohnya: saya dengar orang indonesia suka dengan (yang bisa membuat) tertawa dalam dakwah. Jadi kalau ada da’i yang bisa membuat jama’ah tertawa; maka mereka sangat kagum dengannya. Maka seorang da’i jangan sampai jadi pelawak dan memperbanyak perkataan yang bisa membuat manusia tertawa, sehingga hilanglah wibawanya. Tidak mengapa da’i membawakan sesuatu yang benar yang bisa membuat tertawa, tapi hal itu ibarat garam dalam makanan (jangan berlebihan)

Atau seorang da’i menjadi tukang cerita agar manusia berkumpul padanya, maka ini tidak pantas

Kita minta kepada Allah agar memberikan taufik kepada kita semua.

-ditulis dengan ringkas oleh: Ahmad Hendrix-